عن أميرالمؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرىء ما نوى، فمن كانت هجرته إلىالله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله. ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها، أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه”.(رواه البخاري و مسلم)
Setiap muslim wajib mengilmui sesuatu sebelum mengamalkannya. Dia harus mengetahui: apakah amalan tersebut disyari’atkan atau tidak, apakah itu wajib atau semata mustahab (disukai)? Dan telah masyhur bagi kita (kaum muslimin) sebuah kaedah yang berbunyi :العلم قبل القول و العمل (Ilmu sebelum berkata dan bertindak). Bahkan Imam Bukhari menulis demikian pada salah satu judul babnya. Dalilnya diambil dari Firman-ALLAH :
فأعلم أنه لاإله الا الله واستغفرلذنبك (سورة محمد: 19)
(Dari Amirul’Mu’minin Abi Hafsh Umar ibn Al Khaththaab -radhiallahu anhu- , berkata: Aku telah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-bersabda,
“Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada
niatnya. Dan setiap orang memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan.
Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada ALLAH dan Rasul-NYA, maka
hijrahnya kepada ALLAH dan Rasul-NYA. Dan barangsiapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikejarnya atau wanita yang hendak ia nikahi, maka
hijrahnya kepada apa yang ia (niatkan) hijrah kepadanya.”)
(HR: Bukhari-Muslim)
Hadits di atas begitu popular di kalangan kaum muslimin. Sering sekali kita mendengar ucapan: “Yang penting niat. Bukankah niat kita baik” Dan sangat boleh jadi pengucapnya hanya tahu sedikit atau sebagian dari kaedah ini.
Mungkin dia mendengar hanya potongan dari hadits ini
yang diucapkan seseorang, mungkin juga lengkap tetapi telah
disimpangkan pengertiannya oleh orang yang ia dengar darinya hadits
ini. Akhirnya semakin jauhlah apa yang sering diucapkan kebanyakan kaum
muslimin dengan maksud sesungguhnya dari hadits di atas, bahkan
bertentangan sama sekali.
Sesungguhnya hadits ini sangat mulia dan keluar dari
lisan manusia yang paling mulia. Oleh karenanya wajib bagi kita untuk
mengetahui dan mempelajarinya, sebagaimana para ulama kita memberikan
perhatiannya yang khusus terhadap hadits ini.
Beberapa komentar para ulama di bawah ini menunjukkan betapa agung dan pentingnya hadits ini di dalam Islam.
1. Imam Asy-Syafi’i, “Hadits Niat masuk di dalam tujuh puluh bab masalah-masalah fiqh.”
2. Imam Ahmad ibn Hanbal,”Pokok ajaran Islam
terdapat pada tiga buah hadits. Hadits Umar (hadits yang kita bicarakan
sekarang), Hadits Aisyah, dan Hadits Nu’man ibn Basyir.”
3. Imam Syaukaani,” Hadits Niat merupakan sepertiga ilmu (-di dalam Islam-).
4. Imam Ibn Rajab,”Hadits Niat merupakan timbangan bagi amalan bathin, sedangkan Hadits Aisyah (من أحدث….) merupakan timbangan bagi amalah dzahir.”
5. Imam Abu Sa’id Abdurrahman ibn Mahdi,” Siapa saja yang hendak menulis sebuah kitab, hendaknya ia membuka dan memulainya dengan membawakan hadits Niat.”
Demikianlah di antara beberapa ucapan para ulama berkaitan dengan hadits Niat,
yang menunjukkan betapa mereka memberikan perhatian khusus terhadap
hadits ini. Bahkan tidak sedikit yang menjadikan hadits ini sebagai
perkara yang pertama dibahas di dalam tulisan mereka, yang antara lain
dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap hadits ini, agar para pencari
ilmu membenarkan dan meluruskan niat mereka ketika mereka hendak
mempelajari agama ini (Islam). Dan juga tentunya masih banyak lagi
faedahnya. Mereka -yang memulai kitabnya dengan hadits ini- adalah Imam
Al Bukhari (dalam Shahih-nya), Imam An-Nawawi (Riyadlush-Sholihin dan Al Arba’in-nya), Taqiyuddin Al Maqdisi (Umdatul Ahkam), dan Imam Asy-Syuyuthiy (Jami’ush-Shaghir)
Di antara faedah, fiqh, atau hikmah yang dapat kita
petik dari hadits ini -sebagaimana kita dapati dari keterangan para
ulama- adalah:
1. Niat merupakan bagian dari Iman.
Niat merupakan amalan hati. Sedangkan ta’rif (difinisi) Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah : Diyakini di dalam hati, diucapkan melalui lisan, dan
dibuktikan dengan anggota badan dan perbuatan….Oleh karenanya pula
Imam Bukhari meletakkan hadits ini di dalam Kitab Al Iman. Bukankah
ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- mencatat niat-niat baik kita dengan pahala yang sempurna meskipun amalan tersebut belum kita wujudkan, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagai berikut:
فمن همَّ بحسنة فلم يعملها كتبها الله له عنده حسنة كاملة) متفق عليه)
(Maka barangsiapa yang bercita-cita hendak
mengerjakan kebaikan tetapi belum mengamalkannya, ALLAH mencatat
-bagi orang tersebut- di sisi-NYA dengan kebaikan yang sempurna) (Muttafqun alaih)
2. Wajib mengetahui hukum dari sebuah amalan sebelum mengerjakannya.Setiap muslim wajib mengilmui sesuatu sebelum mengamalkannya. Dia harus mengetahui: apakah amalan tersebut disyari’atkan atau tidak, apakah itu wajib atau semata mustahab (disukai)? Dan telah masyhur bagi kita (kaum muslimin) sebuah kaedah yang berbunyi :العلم قبل القول و العمل (Ilmu sebelum berkata dan bertindak). Bahkan Imam Bukhari menulis demikian pada salah satu judul babnya. Dalilnya diambil dari Firman-ALLAH :
فأعلم أنه لاإله الا الله واستغفرلذنبك (سورة محمد: 19)
(Maka ilmuilah bahwasanya tak ada yang berhak diibadahi kecuali ALLAH dan istighfarlah atas dosamu) (Muhammad:19)
Maka tidak layak bagi kita berkata, “Oh…jadi perbuatan saya itu salah, ya. Saya khan belum tahu hukumnya.” Terlebih lagi kalau itu perkara agama atau ibadah.
3. Disyaratkannya niat pada amalan-amalan keta’atan.
Amalan ta’at yang tidak disertai dengan niat tidaklah
dikatakan keta’atan. Begitu pula kebaikan-kebaikan tidaklah menjadi
ibadah jika tidak disertai niat untuk beribadah. Karenanya pertama-tama
kita perlu mengetahui apa fungsi niat bagi amal.
Sesungguhnya niatlah yang membedakan sebuah amalan.
Pertama; dibedakannya amalan ibadah
dengan kebiasaan atau yang bukan bersifat ibadah. Seseorang yang mandi
keramas untuk kebersihan tak perlu berniat sebagaimana orang yang mandi
keramas karena junub.
Kedua; dibedakannya antara ibadah
yang sama satu sama lain. Jika kita dapati seseorang berpuasa di bulan
Syawal, misalnya. Maka boleh jadi orang tersebut sedang membayar hutang
puasanya, boleh jadi ia sedang puasa Syawal, atau boleh jadi ia sedang
puasa sunnat lainnya. Yang membedakan dan menentukan untuk apa amalan
tersebut adalah niatnya.
Ketiga; dibedakannya maksud dan
tujuan sebuah amalan. Seseorang mengerjakan keta’atan bahkan perbuatan
yang bersifat ibadah. Maka apakah perbuatan tersebut diniatkan untuk
mendapatkan keridloan ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- atau mengharapkan selain dari itu, ditentukan oleh niatnya.
4. Pentingnya ikhlas di dalam beramal.
Ada sebagian ulama yang menafsirkan ma’na Niat
ini dengan Ikhlas. Yang demikian juga benar, karena artinya:
Sesungguhnya amalan-amalan itu bergantung kepada keikhlasan pelakunya.
Sebuah amal -betapapun baik atau bermanfa’atnya itu- jika tidak
dilandasi keikhlasan tidak akan diterima oleh ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- .
وما أمروا إلا ليعبدوالله مخلصين له الدين…(البينة: 5)
(Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar beribadah kepada ALLAH dengan mengikhlaskan agama ini semata-mata bagi NYA…) (Al Bayyinah: 5)
Sungguh ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- tidak
membutuhkan keringat atau harta kita. Dan mengikhlaskan amalan
semata-mata karena ALLAH merupakan wujud mentauhidkan ALLAH. Artinya,
ikhlas juga merupakan sebuah tuntutan dan konsekuensi dari diciptakannya
kita oleh ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa-.
Sayangnya, masih banyak orang yang salah mengerti
tentang ma’na ikhlas. Menurut mereka, ikhlas itu artinya tidak menuntut
apa-apa dari ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa-. Bahkan mereka
beranggapan bahwa, barangsiapa beribadah untuk mengharapkan surga maka
itu ibadahnya pedagang. Dan barangsiapa beribadah karena takut akan
neraka maka itu ibadahnya budak. Ada lagi yang berkata, “Hendaknya
kita malu untuk meminta-minta kepada ALLAH, karena IA telah banyak
memberikan segala sesuatu kepada kita. Apalagi, ALLAH Maha Mengetahui
apa yang kita butuhkan tanpa harus kita meminta.” Ada lagi yang
lebih lancang -semoga ALLAH memberinya hidayah- dengan memperumpamakan
ikhlas itu keadaannya seperti kita buang air besar, di mana kita tidak
memperdulikan apa yang keluar dari perut kita dan bahkan kita merasa
lega setelah membuangnya.
Alangkah berbahayanya ucapan ini dan alangkah buruknya perumpamaan yang mereka berikan.
Pertama; mereka telah mendustakan janji-janji dan ancaman-ancaman ALLAH. Lantas buat apa ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- menjanjikan kita sorga dan menakut-nakuti kita dengan neraka, jika ibadah kita bukan karena itu ?
Kedua: mereka menantang kemurkaan
ALLAH dan menolak keridloan-NYA. Dan jika orang tersebut tidak bertobat
dari keyakinannya, sangat boleh jadi ia tak akan masuk sorga karena
memang ia tak mengharapkannya, dan ia akan dimasukkan ke neraka karena
mengatakan tidak takutnya kepada neraka. ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- menggambarkan ikhlas dengan perumpamaan yang baik, sedang mereka menggambarkannya dengan perumpamaan yang buruk.
Ketiga: menyelisihi Nabi r dan merasa lebih baik dari beliau r. Bukankah Nabi r saja berdo’a ,” Ya, ALLAH. Aku mengharapkan ridlo-MU dan Surga. Dan aku berlindung dari murka-MU dan Neraka.”
Keempat; melecehkan perintah ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa-. Bukankah ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- telah memerintahkan hamba-NYA agar berdo’a:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
(ِسورة ألمؤمن: 60)
(Dan berkata Rabb kalian: Berdo’alah kalian kepada KU, niscaya KU penuhi untuk kalian…”) (Al Mu’min: 60)
Hendaknya kita senantiasa memperhatikan gerak hati kita, karena keikhlasan kita senantiasa diuji.
Pertama; sebelum beramal, yakni berupa niat. Kepada siapa dan karena apa kita niatkan amalan kita ?
Kedua; ketika tengah beramal. Boleh
jadi amalan yang semula lhklas terganggu disebabkan ada
kejadian-kejadian khusus dan tak terduga. Sebagai contoh, kita marah
ketika ucapan salam kita tidak dijawab, atau sedekah kita ditolak
mentah-mentah, atau kita tambah bersemangat ketika tahu amalan kita ada
yang memperhatikan.
Ketiga; ketika amal telah berlalu.
Tanpa sadar setelah mungkin bertahun-tahun kita sembunyikan, tiba-tiba
dalam sebuah obrolan kita bangkit-bangkitkan jasa kita dahulu.
5. Baik buruknya amal bergantung kepada niat pelakunya.
Sebuah amal kebaikan akan menjadi ibadah yang
diterima manakala diniatkan dengan niat yang baik, berupa keikhlasan,
Dan akan menjadi buruk manakala diniatkan dengan niat buruk, berupa
ksyirikan -baik kecil apalagi besar-.
Akan tetapi seseorang tidak boleh menghalalkan yang haram semata-mata dengan alasan baiknya niat. Dan berangkat dari perkara inilah sesungguhnya judul tulisan di atas dibuat.
Di dalam hadits ini Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
telah memberikan pembatasan pada kata Amal, di mana yang dimaksudkan
adalah amalan-amalan keta’atan. Apalagi kemudian beliau tegaskan dengan
contoh Hijrah. Maka tidak boleh kita meng-qiyas-kan amalan yang baik ini dengan amalan yang buruk, seperti mencuri misalnya.
Namun akhir-akhir ini manusia bermudah-mudahan mengatakan, “Yang penting niat.” Atau ,”Niat kita khan baik.”
Maka kemudian ditempuhlah segala cara, dihidupkanlah segala macam yang
tidak disyari’atkan, dan ditempuhlah segala jalan yang tidak ada
sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- padanya. Semua atas
nama baiknya niat. Cukupkah itu? Cukupkah segala sesuatu hanya dengan
alasan baiknya niat? Sungguh tak ada satupun manusia di muka bumi ini
yang mengaku punya niat buruk. Bukankah para penjahat juga jika
ditanya kenapa ia melakukan kejahatan itu, niscaya mereka mengatakan
bahwa niat mereka baik -untuk menafkahi anak dan isteri-.
Seandainya memang amalan yang buruk atau jahat itu
bisa menjadi baik karena niat dan yang haram bisa menjadi halal (bukan
dalam hal darurat) juga karena niat, maka apa bedanya ajaran yang suci
ini (Islam) dengan Machiavellisme, sebuah falsafah -Tujuan Menghalalkan Cara- yang digagas oleh si kafir Niccolo Machiavelli ?.
Maka hendaknya berhati-hati dalam mengatakan
(”Yang penting niat.”) atau (”Niat kita khan baik.”).
jadi yang mengucapkan mengira dia mengutip hadits yang mulia dan menganggap dirinya sedang mengagungkan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- , padahal tanpa ia sadari ia sedang mengutip filsafat hina dan sedang mengagungkan si kafir tadi. (Na’uzubillah).
Penutup
Masih banyak faedah, fiqh, atau hikmah yang dapat
kita petik selain yang telah disebutkan di atas seperti, keutamaan
hijrah, balasan sesuai amalan, atau syarat diterimanya ibadah. Namun
kami cukupkan pembahasan di dalam perkara yang berkaitan langsung
dengan judul di atas dan dengan permasalahan yang hendak kami bahas.
Dengan melihat bagaimana para ulama berkomentar
tentang hadits ini, tidak sedikitnya kitab-kitab yang diawali dengan
hadits ini -bahkan itu semua adalah kitab-kitab yang terkenal-, dan
begitu banyaknya ulama belakangan yang menguraikannya,
cukuplah ketidakhafalan dan ketidakpahaman kita akan hadits ini sebagai bukti ketidakseriusan kita dalam beragama.
Penulis: Al Ustadz Abu Khaulah Zainal Abidin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar