Minggu, 13 Januari 2013

Mengenakan Lensa Kontak Dalam Islam


Ustadz, apa hukumnya memakai kontak lens berwarna untuk mendapatkan mata yang lebih indah, apakah sama dengan menyambung rambut atau sama dengan memakai make-up
Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Inti jawabannya bahwa pada hakikatnya pemakaian kontak lens itu dibolehkan, walaupun tujuannya untuk kecantikan atau memperbaiki penampilan. Namun hukumnya akan berubah sesuai dengan keadaannya yang mengikutinya.

Melihat sebuah ketulusan

Rincian Jawaban : A. Pendahuluan
Saat ini sudah tidak dipungkiri lagi bahwa memakai kontak lens memang banyak dilakukan orang, bukan karena ada masalah dengan penglihatan, tetapi semata-mata hanya untuk menambah kecantikan. Sebab kontak lens itu bisa menimbulkan efek warna tertentu yang akan membuat penampilan mata jadi berbeda.
Maka boleh dibilang bahwa penggunaan kontak lens dalam banyak kasus bisa dianggap merupakan salah satu teknis berdandan atau berhias. Walau masih tetap ada mereka yang memakai kontak lens semata-mata karena urusan teknis gangguan pada mata.
Kalau kita renungkan, ada sedikit kemiripan dengan penggunaan kaca mata. Pada awalnya kaca mata itu digunakan dengan alasan teknis, yaitu mengatasi masalah pada mata. Tetapi saat ini, fungsi kaca mata nampaknya sudah jauh melewati urusan teknis, dan masuk ke wilayah estetika, penampilan dan style. Karena kaca mata dalam beberapa kasus memang bisa membuat penampilan seseorang semakin nampak berbeda.
B. Hukum Memakai Kontak Lens Untuk Perhiasan
Untuk membahas hukum memakai kontak lens dengan tujuan perhiasan, kita perlu membahas terlebih dahulu hukum berhias itu sendiri. Dalam kajian tentang hukum berhias, ada yang halal dan ada yang haram. Dan ada juga yang masih jadi perdebatan para ulama tentang hukumnya.
Setelah itu baru kita bahas, apakah pemakaian kontak lens itu termasuk yang dihalalkan atau diharamkan.
C. Dalil Yang Mendasari Hukum Berhias
Pada dasarnya berhias itu hukumnya dibolehkan, sebagaimana firman Allah SWT :
قُل مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS. Al-A’raf : 32)
Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW dalam hadits beliau berikut ini :
مَنْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ نِعْمَةً فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَيْهِ
Siapa orang yang Allah berikan kepadanya suatu kenikmatan, maka sungguh Allah suka melihat tanda atas nikmat yang diberikannya itu. (HR. Ahmad)
كَانَ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُول اللَّهِ يَنْتَظِرُونَهُ عَلَى الْبَابِ فَخَرَجَ يُرِيدُهُمْ وَفِي الدَّارِ رَكْوَةٌ فِيهَا مَاءٌ فَجَعَل يَنْظُرُ فِي الْمَاءِ وَيُسَوِّي لِحْيَتَهُ وَشَعْرَهُ . فَقُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ . وَأَنْتَ تَفْعَل هَذَا ؟ قَال : نَعَمْ إِذَا خَرَجَ الرَّجُل إِلَى إِخْوَانِهِ فَلْيُهَيِّئْ مِنْ نَفْسِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَال
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa ada beberapa orang shahabat Nabi SAW menunggu beliau di depan pintu. Ketika beliau keluar menemui mereka, di dalam rumah ada wadah kopi berisi air, beliau pun berkaca dengannya, merapikan jenggot dan rambutnya. Aku (Aisyah) bertanya,”Ya Rasulallah, Anda melakukan hal itu?”. Beliau menjawab,”Ya, bila seseorang keluar untuk menemui saudaranya, hendaklah dia merapikan dirinya. Karena Allah itu indah dan suka keindahan. (HR. As-Sam’ani)
Dalil-dalil di atas merupakan petunjuk tentang dibolehkannya seseorang memakai pakaian yang bagus dan indah, atau berhias dengan penampilan yang menarik.
D. Berubahnya Hukum Berhias Berdasarkan Banyak Faktor
Namun dalam kasus per kasus, berhias akan menjadi berbeda-beda hukumnya, terkadang wajib, sunnah, makruh atau haram, sesuai dengan 5 hukum fiqih, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
1. Wajib
Berhias yang wajib antara lain berpakaian yang menutup aurat, khususnya wanita di depan laki-laki ajnabi yang bukan mahramnya. Dan secara umum, semua laki-laki pun wajib menutup auratnya di depan orang.
Berdandan juga menjadi wajib hukumnya tatkala seorang suami memerintahkan istrinya untuk berhias untuk dirinya, karena hal itu merupakan hak dari seorang suami atas istrinya.
2. Sunnah
Berhias yang hukumnya sunnah adalah ketika akan menghadiri shalat Jumat, atau shalat Idul Fithr dan Idul Adha, dan shalat lainnya.
Hal itu dilakukan dengan cara mandi, menggosok gigi, memotong kuku, memakai wewangian yang harum dan baik, dan mengenakan pakaian yang terbaik.
Para ulama juga menyunnahkan untuk berhias pada setiap kesempatan pertemuan dan berkumpul dengan banyak orang.
3. Mubah
Berhias yang mubah tentu yang tidak melanggar ketentuan, serta tidak ada keharusan untuk melakukannya.
4. Makruh
Di antara contoh berhias yang hukumnya makruh misalnya mengenakan pakaian muashfar dan muza’far bagi laki-laki.
5. Haram
Berhias yang haram cukup banyak contohnya. Di antara yang bisa dijadikan contohya adalah menyambung rambut, sebagaimana yang sering kita dengar atau dibilang orang. Pertanyaan Anda di atas adalah ingin mengaitkan hukum memakai kontak lens dengan hukum berhias, khususnya keharaman menyambung rambut.
E. Menyambung Rambut Yang Diharamkan
Memang kita umumnya sering mendengar fatwa tentang haramnya menyambung rambut. Namun sebenarnya kalau kita lakukan telaah fiqih yang lebih mendalam, kita akan menemukan adanya syarat dan ketentuan yang berlaku, dimana tidak semua apa yang disebut dengan menyambung rambut itu termasuk haram.
Yang disepakati umumnya oleh para ulama tentang keharaman menyambung rambut adalah bila sambungan itu terbuat dari rambut manusia (adami). Sedangkan bila bahan rambut itu dari benda lain, maka para ulama berbeda pendapat.
1. Jumhur Ulama
Jumhur fuqaha termasuk di dalamnya mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, seluruhnya sepakat bahwa menyambung rambut dengan rambut manusia (adami) hukumnya haram. Baik rambut sambungan itu berasal dari rambut laki-laki maupun dari rambut seorang perempuan.
Dalil yang mereka pergunakan adalah hadits nabawi berikut ini :
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِى بَكْرٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ فَقَالَتْ إِنِّى أَنْكَحْتُ ابْنَتِى ثُمَّ أَصَابَهَا شَكْوَى فَتَمَرَّقَ رَأْسُهَا وَزَوْجُهَا يَسْتَحِثُّنِى بِهَا أَفَأَصِلُ رَأْسَهَا ؟ فَسَبَّ رَسُولُ اللَّهِ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
Dari Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahuanha bahwa ada seorang perempuan yang menghadap Rasulullah SAW lalu berkata, “Telah kunikahkan anak gadisku setelah itu dia sakit sehingga semua rambut kepalanya rontok dan suaminya memintaku segera mempertemukannya dengan anak gadisku, apakah aku boleh menyambung rambut kepalanya. Rasulullah lantas melaknat perempuan yang menyambung rambut dan perempuan yang meminta agar rambutnya disambung” (HR Bukhari dan Muslim).
Selain hadits di atas, para ulama juga mengharamkannya dengan dasar hadits yang lain :
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Allah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya dan perempuan yang meminta agar rambutnya disambung. (HR. Bukhari)
Adanya laknat untuk suatu amal itu menunjukkan bahwa amal tersebut hukumnya adalah haram.
Dan juga ada hadits lainnya lagi yang tegas mengharamkan seseorang menyambung rambut dengan rambut manusia.
عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ عَامَ حَجَّ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَنَاوَلَ قُصَّةً مِنْ شَعَرٍ وَكَانَتْ فِى يَدَىْ حَرَسِىٍّ فَقَالَ يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذِهِ ، وَيَقُولُ « إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ حِينَ اتَّخَذَهَا نِسَاؤُهُم
Dari Humaid bin Abdirrahman, dia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan saat musim haji di atas mimbar lalu mengambil sepotong rambut yang sebelumnya ada di tangan pengawalnya lantas berkata, “Wahai penduduk Madinah di manakah ulama kalian aku mendengar Nabi SAW bersabda melarang benda semisal ini dan beliau bersabda, ‘Bani Israil binasa hanyalah ketika perempuan-perempuan mereka memakai ini (yaitu menyambung rambut). (HR Bukhari dan Muslim).
زَجَرَ النَّبِىُّ أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا
Nabi SAW melarang seorang perempuan untuk menyambung rambut kepalanya dengan sesuatu apapun” (HR. Muslim)
2. Pendapat Sebagian Al-Hanabilah
Namun ternyata ada juga sebagian pendapat yang masih membolehkan seorang wanita menyambung rambutnya dengan menggunakan rambut manusia (adami), yaitu satu qaul (pendapat) dari sebagian ulama Al-Hanabilah.
Namun mereka mensyaratkan hal itu harus dengan seizin suaminya. Pendapat ini mengisyaratkan –wallahua’lam- bahwa ‘illat dari diharamkannya menyambung rambut buat wanita adalah bab penipuan. Maksudnya, seorang wanita diharamkan menipu suaminya, seolah-olah rambutnya lebat dan bagus, pahala rambut itu hanyalah rambut palsu.
Ada pun bila suami sudah tahu bahwa rambut itu hanyalah rambut palsu dan bukan rambut asli, maka ‘illat keharamannya sudah tidak ada lagi. Sehingga dalam pandangan mazhab ini, hukumnya tidak haram, asalkan semua dilakukan untuk dan atas permintaaan atau izin dari suaminya.
F. JUMHUR ULAMA : Menyambung Rambut Buatan Tidak Haram
Yang dimaksud dengan rambut buatan adalah selain rambut manusia dan hewan. Dalam hal ini kita juga menemukan perbedaan pendapat di kalangan ulama :
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah, dan juga Al-Hanabilah dalam mazhabnya, serta pendapat Al-Laits, Abu Ubaidah dan juga pendapat para ulama lainnya, menegaskan bahwa selama rambut yang digunakan bukan rambut manusia atau hewan, tetapi rambut buatan, entah dari plastik, nilon atau sutera, maka hukumnya tidak dilarang.
Dasarnya adalah atsar dari Aisyah radhiyallahuanha yang menjelaskan detail maksud dari larangan Nabi SAW
Dari Sa’ad al Iskaf dari Ibnu Syuraih, Aku berkata kepada Aisyah bahwasanya Rasulullah melaknat perempuan yang menyambung rambutnya. Aisyah lantas berkomentar,
قَالَتْ يَا سُبْحَانَ اللهِ وَمَا بَأْس باِلمَرْأَةِ الزَّعْرَاء أَنْ تَأْخُذَ شَيْئًا مِنَ صُوْفٍ فَتَصِلَ بِهِ شَعْرَهَا تَزَيَّنَ بِهِ عِنْدَ زَوْجِهَا إِنَّمَا لَعَنَ رَسُولُ اللهِ المَرْأَةَ الشَّابَّةَ تَبْغِى فيِ شَيْبَتِهَا حَتىَّ إِذَا هِيَ أَسَنَّتْ وَصَلَتْهَا بِالقِلاَدَةِ
Subhanallah, tidaklah mengapa bagi seorang perempuan yang jarang-jarang rambutnya untuk memanfaatkan bulu domba untuk digunakan sebagai penyambung rambutnya sehingga dia bisa berdandan di hadapan suaminya. Yang dilaknat Rasulullah SAW hanyalah seorang perempuan yang rambutnya sudah dipenuhi uban dan usianya juga sudah lanjut lalu dia sambung rambutnya dengan lilitan (untuk menutupi ubannya).
Maka hukumnya tidak termasuk yang dilarang. Rambut tiruan yang terbuat dari bulu hewan, atau memang buatan pabrik yang berbahan plastik dan bahan-bahan lainnya, para ulama tidak mengharamkannya.
2. Pendapat Al-Malikiyah
Pendapat Al-Malikiyah dalam masalah rambut buatan sama sama dengan pendapat mereka ketika menggunakan rambut manusia dan hewan, yaitu mereka tetap bersikeras untuk mengharamkan seorang wanita menyambung rambut, apapun bahannya.
Al-Albani mengatakan bahwa menyambung rambut dengan bukan rambut baik dengan potongan kain ataupun yang lainnya termasuk dalam hal yang terlarang dengan dasar hadits berikut ini :
جَاءَ رَجُلٌ بِعَصًا عَلَى رَأْسِهَا خِرْقَةٌ قَالَ مُعَاوِيَةُ أَلاَ وَهَذَا الزُّورُ. قَالَ قَتَادَةُ يَعْنِى مَا يُكَثِّرُ بِهِ النِّسَاءُ أَشْعَارَهُنَّ مِنَ الْخِرَقِ
Dari Qotadah, dari Said bin Musayyib sesungguhnya Muawiyah pada suatu hari berkata, “Sungguh kalian telah mengada-adakan perhiasan yang buruk. Sesungguhnya Nabi kalian melarang perbuatan menipu”. Kemudian datanglah seseorang dengan membawa tongkat. Diujung tongkat tersebut terdapat potongan-potongan kain. Muawiyah lantas berkata, “Ingatlah, ini adalah termasuk tipuan”. Qotadah mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah potongan-potongan kain yang dipergunakan perempuan untuk memperbanyak rambutnya (HR. Muslim).
Ibnu Hajar berkomentar bahwa hadits di atas adalah dalil mayoritas ulama untuk melarang menyambung rambut dengan sesuatu apapun baik berupa rambut ataupun bukan rambut.
G. KESIMPULAN
Dari telaah kita atas hukum menyambut rambut di atas, maka kita bisa ambil beberapa poin kesimpulan, yaitu :
1. Kontak les memang sering digunakan selain untuk mengatasi masalah gangguan pengihatan, juga digunakan sebagai perhiasan.
2. Hukum berhias pada dasarnya ada boleh, namun sesuai dengan keadaannya, maka ada yang hukumnya haram, makruh, mubah, bahkan sunnah dan wajib.
3. Menyambung rambut asalkan bukan dengan rambut manusia, oleh jumhur ulama tidak dikatakan haram. Hanya beberapa orang yang mengatakan haram.
4. Maka kalau pemakaian kontak lens diharamkan karena didasarkan kepada haramnya menyambung rambut, tentu tidak tepat, mengingat hukum menyambung rambut sendiri dihalalkan jumhur ulama bila bukan dengan rambut manusia.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc., MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar