Di setiap perempatan jalan raya di
kota-kota besar, termasuk Yogyakarta, seringkali berseliweran para
pengemis yang menadahkan tangannya kepada para pengendara yang menunggu
lampu hijau untuk melanjutkan perjalanannya. Perempuan maupun lelaki
pengemis muncul di hadapan kita, sungguh sebagai keadaan dirinya maupun
hasil rekayasa. Barangkali banyak di antara kita yang tahu betul mana
pengemis sungguhan dan mana pengemis jadi-jadian. Dari sini kemudian
kita seringkali berada dalam keraguan antara memberi atau tidak
memberi. Kondisi seperti ini biasanya terus berulang setiap kali kita
dihadapkan pada persoalan yang sama. Keraguan tersebut, sebenarnyalah
bukan karena dipicu oleh keadaan orang yang meminta kepada kita,
melainkan permasalahannya ada pada diri kita, “Sanggupkah kita
memberikan sedekah kepada orang-orang yang berterus terang meminta
kepada kita?”.
Memang, meminta dengan berpura-pura jadi pengemis jelas berbeda dengan meminta karena benar-benar ia pengemis. Tapi, tahu betulkah kita bahwa dugaan kita itu benar? Bukankah hanya Allah SWT saja yang Maha Tahu? Menghadapi keadaan seperti ini, maka sikap terbaik kiranya kita menggunakan asas praduga tak bersalah kepada para peminta. Dari sini, kita akan dapat bersedekah kepada siapa pun tanpa harus membebani diri dengan pertanyaan; siapakah sebenarnya pengemis itu? Demikian pula, kita juga akan dapat bersedekah dengan ikhlas tanpa harus ngedumel; jangan-jangan kita telah ditipu oleh pengemis itu. Niat kita memang ingin memberi, terlepas apakah pengemis itu menipu atau tidak kita serahkan kepada Allah SWT. Seandainya, memang benar pengemis itu menipu mudah-mudahan dengan keikhlasan kita, pengemis itu dapat memperoleh hidayah kembali ke jalan yang benar.
Kaitannya dengan hal ini, ada sebuah kisah menarik yang dikisahkan dalam hadis dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Seseorang berkata, 'Sungguh saya akan menyedekahkan sesuatu pada malam ini.' Kemudian dia memberikan sesuatu itu pada tangan seorang pezina. Keesokan harinya orang-orang menceritakan bahwa dia bersedekah kepada seorang pezina.
Memang, meminta dengan berpura-pura jadi pengemis jelas berbeda dengan meminta karena benar-benar ia pengemis. Tapi, tahu betulkah kita bahwa dugaan kita itu benar? Bukankah hanya Allah SWT saja yang Maha Tahu? Menghadapi keadaan seperti ini, maka sikap terbaik kiranya kita menggunakan asas praduga tak bersalah kepada para peminta. Dari sini, kita akan dapat bersedekah kepada siapa pun tanpa harus membebani diri dengan pertanyaan; siapakah sebenarnya pengemis itu? Demikian pula, kita juga akan dapat bersedekah dengan ikhlas tanpa harus ngedumel; jangan-jangan kita telah ditipu oleh pengemis itu. Niat kita memang ingin memberi, terlepas apakah pengemis itu menipu atau tidak kita serahkan kepada Allah SWT. Seandainya, memang benar pengemis itu menipu mudah-mudahan dengan keikhlasan kita, pengemis itu dapat memperoleh hidayah kembali ke jalan yang benar.
Kaitannya dengan hal ini, ada sebuah kisah menarik yang dikisahkan dalam hadis dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Seseorang berkata, 'Sungguh saya akan menyedekahkan sesuatu pada malam ini.' Kemudian dia memberikan sesuatu itu pada tangan seorang pezina. Keesokan harinya orang-orang menceritakan bahwa dia bersedekah kepada seorang pezina.
Orang
itu berkata, 'Ya Allah, segala puji kepunyaan Engkau yang telah
menetapkan sedekahku bagi pelacur. Sungguh saya akan bersedekah lagi
pada malam ini.' Kemudian dia meletakkan di tangan orang kaya. Keesokan
harinya orang-orang membicarakan bahwa pada malam itu dia bersedekah
kepada orang kaya. Maka dia berkata, 'Ya Allah, kepunyaan Engkaulah
segala puji yang telah menetapkanku bersedekah pada orang kaya. Sungguh,
saya akan bersedekah lagi pada malam ini.' Kemudian, dia pergi dan
menyimpan sedekah ditangan pencuri. Maka dia berkata, 'Ya Allah,
kepunyaan Engkaulah segala puji yang telah menetapkanku sedekah bagi
pezina, orang kaya dan pencuri.' Kemudian orang itu didatangi oleh
seseorang seraya berkata kepadanya, 'Sedekahmu sudah diterima. Adapun
sedekah yang sampai ke tangan pelacur, mudah-mudahan saja dia berhenti
dari melacur; yang sampai orang kaya, mudah-mudahan saja dia mengambil
pelajaran dan mau menginfakkan sebagian harta yang telah diberikan Allah
kepadanya; dan yang sampai ke pencuri, mudah-mudahan saja menghentikan
perbuatan mencurinya."
Demikian,
sebaiknya kita menghadapi para peminta/pengemis, karena hal terpenting
dalam bersedekah adalah keikhlasan. Memang kita harus selektif dalam
bersedekah, akan tetapi sikap selektif tersebut jangan sampai
menghalangi kita untuk tidak jadi bersedekah, karena sedekah pada
dasarnya adalah pinjaman kita kepada Allah SWT. Dalam hal ini, Allah SWT
berfirman: “Siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah
akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak” (QS. Al-Baqarah: 245). Di samping itu, Rasulullah juga bersabda: “Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan bahkan akan bertambah”.
Kaitannya
dengan hal di atas, ada sebuah kisah yang dikisahkan dalam kitab
al-Mawaidh al-‘Ufuriyyah bahwa pada suatu hari Ali bin Abi Talib hanya
mempunyai uang enam dirham. Dengan uang itu, ia ingin membelikan makanan
buat kedua putranya; Hasan dan Husain. Namun, tiba-tiba ada seorang
peminta yang mengadu kepadanya bahwa ia sangat membutuhkan uang. Lalu
serta merta Ali memberikan semua uangnya. Ketika pulang dengan tangan
kosong, istrinya Fatimah az-Zahra’ pun menanyakannya. Ali kemudian
menjawab bahwa uangnya telah dipinjam Allah SWT.
Tidak lama kemudian, Ali bermaksud ingin menemui Nabi SAW. Di tengah
jalan ia bertemu dengan seseorang yang sedang menuntun onta. Orang itu
lalu menawarkan untanya kepada Ali. “Aku tidak punya uang”, kata Ali.
“Bayarlah kemudian jika Engkau telah punya uang, dengan harga 100
dirham”, kata lelaki yang tidak dikenalinya itu.
Ketika Ali sedang menuntun ontanya, ia berjumpa dengan laki-laki
lain, dan menawar ontanya dengan harga 300 dirham. Tanpa pikir panjang,
Ali pun menjual ontanya itu. Uang 100 dirham lalu diberikannya kepada
laki-laki pertama, sedangkan sisanya menjadi miliknya.
Begitulah pembayaran Allah kepada orang yang telah meminjami-Nya
(menyedekahkan hartanya) dengan pembayaran berlipat ganda di dunia dan
lebih-lebih kelak di akhirat.
Adapun bagaimana gambaran pembayaran Allah SWT kepada orang-orang yang
bersedekah kelak di akhirat? Kiranya hal itu bisa ditangkap dari
kejadian pada masa Nabi berikut ini.
Seperti yang telah biasa dilakukannya ketika salah satu sahabatnya
meninggal dunia Rasulallah mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Dan
pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan
menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima
musibah itu.
Kemudian Rasulallah berkata,"tidakkah almarhum mengucapkan wasiat
sebelum wafatnya?" Istrinya menjawab, saya mendengar dia mengatakan
sesuatu di antara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal"
"Apa yang di katakannya?", "Saya tidak tahu, ya Rasulallah, apakah
ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih
karena dahsyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami
lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.", "Bagaimana
bunyinya?" desak Rasulallah. Istri yang setia itu menjawab,"suami saya
mengatakan "Andaikata lebih panjang lagi....andaikata yang masih baru....andaikata semuanya...."
hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah
perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar,ataukah
pesan-pesan yang tidak selesai?"
Rasulallah tersenyum."sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak
keliru," ujarnya. Kisahnya begini, pada suatu hari ia sedang bergegas
akan ke masjid untuk melaksanakan shalat jum'at. Di tengah jalan ia
berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu
tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang
membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas
penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun
berkata "andaikan lebih panjang lagi".Maksudnya, andaikata jalan ke
masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanyalebih besar pula.
Ucapan lainnya ya Rasulallah?, tanya sang istri mulai tertarik. Nabi
menjawab, "adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat
hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia
pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan
ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati
kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang
dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada
lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang
saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu
sehingga ia pun menyesal dan berkata, "Coba andaikan yang masih yang
kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh
lebih besar lagi".Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.
Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rasulallah?" tanya
sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan,"ingatkah
kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan
meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang
telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya,
tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu
lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada
musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia
menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun
menyesal dan berkata ' kalau aku tahu begini hasilnya, musyafir itu
tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan
kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda. Memang begitulah
keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya
kita juga yang beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala
tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika
kita berbuat buruk. Akibatnya juga akan menimpa kita sendiri.Karena itu
Allah mengingatkan: "kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat
baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah
berbuat buruk atas dirimu pula."(QS. Al Isra':7)
Inilah indahnya sedekah, di mana kita tidak hanya mendapatkan balasan
berlimpah di dunia tapi juga pahala berlimpah di akhirat. Dengan ini,
satu hal yang perlu ditegaskan bahwa bersedekah hendaknya tidak usah
menunggu harus kaya, karena semakin kaya seseorang biasanya ia semakin
rakus terhadap harta. Bersedekahlah walau hanya dengan air putih. Dalam
hal ini, Islam tidak melarang umatnya untuk kaya tetapi Islam
mengajarkan kepada umatnya mengenai pandangan yang benar terhadap
kekayaan. Harta bukanlah tujuan melainkan harta adalah sarana untuk
pengabdian kita kepada-Nya. Bertitik tolak dari hal ini, hendaknya
paradigma kita harus diubah, jika selama ini bisa mendapatkan pemberian
adalah nikmat, maka sebenarnya bisa memberi pemberian itu juga nikmat.
Jika selama ini dapat memperoleh pinjaman adalah nikmat, maka dapat
memberikan pinjaman itu juga nikmat. Bukankah tangan di atas lebih baik
dari tangan di bawah? Jika salama ini menyaksikan orang lain bahagia
merasa sedih dan iri, maka merasakan orang lain bahagia kita juga ikut
bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar